METODOLOGI
PENAFSIRAN
Oleh: Maghpir, S.Pd.I
A. Pendahuluan
Dalam studi Islam Masduhu dkk (2000, hlm.12) menyebutkan
setidak-tidaknya terdapat tiga lingkup penelitian keagamaan. Pertama penelitian
normatif tentang Islam, yang umunya dikerjakan kaum muslimin sendiri untuk
menemukan kebenaran religious, meliputi studi-studi: tafsir, hadits, fikih, dan
kalam. Kedua, penlitian nonnormatif tentang Islam, biasanya dilakukan di
universitas-universitas dan meliputi baik apa yang dianggap kaum muslim sebagai
Islam yang benar, maupun yang hidup (living Islam), yakni ekspresi-ekspresi
relilgius kaum muslim yang faktual. Ketiga, penelitian nonnormatif mengenai
aspek-as pek kebudayaan dan masyarakat
muslim.
Alquran sebagai sumber umat Islam
untuk beragama, perlu di pahami dengan mempelajari situasi historis dan masalah
dalam menanggapi mana ayat-ayat yang diturunkan, termasuk pertanyaan yang bersifat
sosial, keagamaan, dan kelembagaan, dan isu-isu tentang kapan dan di mana
ayat-ayat Alquran tersebut diturunkan.
Seperti kita ketahui bahwa
Rasulullah SAW adalah merupakan orang pertama yang berhak untuk menafsirkan
Al-Qur'an ( mufasir awal ), karena pada masa Nabi segala persoalan yang
berkaitan dengan persoalan umat bisa langsung ditanyakan kepada Nabi SAW.
Paling sedikit ada
tiga jenis metodologi konvensional yang telah berkemban. Pertama,
metodologi penelitian tafsir yang menekankan pada ilmu asbab al-nuzul,
linguistika Alquran, dan lain-lain. Kedua, metode penelitian hadits. Ketiga,
ilmu ushul fiqh atau ilmu dasar-dasar fiqh (Atho Muzhar, 2011, hlm.1).
Studi terhadap al-Qur'an dan
metodologi tafsir sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang cukup panjang,
seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial dan budaya serta
peradaban manusia yang terus mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari keinginan umat Islam untuk senantiasa
mendialogkan teks al-Qur'an yang terbatas dengan realitas yang tak terbatas.
Oleh sebab itu, munculnya metodologi tafsir merupakan keniscayaan yang tidak
terelakan. Apalagi dalam peta ilmu-ilmu keislaman, persoalan metodologi tafsir
adalah ilmu yang belum matang yang senantiasa terbuka untuk diperbaharui dan
dikembangkan.
Untuk itu mempelajari Al-Qur'an laksana meminum air laut, semakin banyak
diminum semakin terasa haus. Begitu pula mempelajari Al-Qur'an, semakin
didalami semakin terasa miskinnya ilmu seorang hamba dan semakin jelas
kelihatan disetiap sisinya memancarkan nur ( cahaya ), karena itu pembahasan
mengenai Al-Qur'an dan segala aspeknya tidak akan pernah berakhir. Dalam
makalah saya disini sedikit akan mengupas bagaimana caranya mendalami
Al-Qur'an, yaitu metodologi penafsiran Al-Qur'an semoga makalah saya ini
bermanfaat.
B. Pembahasan
1. Pengertian Metodologi Penafsiran
Kata metodologi
terdiri dari dua kata yaitu method dan logi. Metodologi yang pada awalnya berasal
dari bahasa latin methodus dan logia, kemudian kedua kata ini diserap oleh
bahasa Yunani menjadi methodos yang berarti cara atau jalan, cara yang teratur
dan sistematis untuk pelaksanaan sesuatu, sedangkan logos berarti kata,
pembicaraan atau ilmu. Jadi metodologi adalah ilmu cara-cara dan
langkah-langkah yang tepat (untuk menganalisa sesuatu); penjelasan serta
menerapkan cara (Pius A Partanto dan M Dahlan Al-Barry, hlm. 46).
Dalam kamus bahasa Indonesia,
metodologi berarti cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) atau cara kerja yang tersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang
ditentukan (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1988,hlm.580).
Jadi metodologi dapat kita artikan
suatu alur yang di dalamnya terdapat langkah-langkah yang sistematis dalam
rangka untuk memudahkan dalam kegiatan pencapaian tujuan yang akan di capai.
Ekesegesis dalam kamus artinya penjelasan
(Peter Salim, 2002, hlm. 641). Sedangkan menurut John Hayes bahwa menafsir
dalam bahasa inggris diistilahkan dengan kata "exegesis" yang
memiliki arti membawa keluar atau mengeluarkan. Apabila dikenakan pada
tulisan-tulisan, maka kata tersebut berarti "membaca atau menggali"
arti tulisan tersebut. Jadi pada waktu kita membaca sebuah tulisan atau
mendengar suatu pernyataan yang kita coba fahami dan tafsirkan, maka kita
sebenarnya sedang melakukan penafsiran (sumber: http://fud.iainbanten.ac.id).
Al-Qur’an
secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks, selalu
berubah dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya Al-Qur’an selalu membuka diri
untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan ( ditafsirkan) dengan
berbagair alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka
metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari
Al-Qur’an itu. (Muhammad Amin Suma, 1997, hlm. 3).
Al-Maturidi mendefinisikan tafsir
dengan penjelasan yang pasti dari maksud satu lafazh dengan persaksian bahwa
Allah bermaksud demikian dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti melalui para
periwayatnya yang adil (As-Suyuthi, hlm.167).
Imam az-Zarkasyi, berpendapat bahwa
tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya ( Az-
Zarkasyi, hlm.146)
Berdasarkan pengertian-pengertian di
atas maka dapat di simpulkan bahwa Yang dimaksud
dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur
dan terpikir baik untuk menganalisa sesuatu dengan
sistematis untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari
ayat-ayat A;-Qur’an.
2. Bentuk/ Corak Penafsiran
Menurut
hasil penelitian, bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah
diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Alquran. Metode penafsiran
Alquran tersebut secara garis besar dapat dibagi dua bagian yaitu corak bi ma’tsur (riwayat) dan corak
penalaran (Abuddin Nata, 2009, hlm. 217).
Demikian juga Rosihon Anwar (2009) yang menyebutkan bahwa bentuk atau
corak penafsiran ada dua macam yaitu bentuk bil Ma’tsur dan bir-Ra’yi
.
Jadi berdasarkan pendapat-pendapat di atas,
maka dalam sejarah penafsiran Alquran, paling tidak ada dua bentuk/ corak penafsiran yang dipakai
(diterapkan) oleh ulama, yaitu bil-ma’tsur
(riwayat) dan bir-Ra’yi (penalaran):
a. Bentuk bil-Ma’tsur
Bentuk bil-Ma’tsur adalah
penafsiran Alquran berdasarkan penjelasan Alquran itu sendiri, penjelasan
Rasul, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in.
Contoh dengan Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan
ayat al-Qur’an yang lain
"Dihalalkan bagimu yang
baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar
dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu......(Al-Maidah :4).
Ayat al-Qur’an di atas ditafsirkan dengan ayat
al-Qur’an yang lain yaitu :
Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua
itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. .... ( Al- An’am
:145)
Pada ayat yang kedua tersebut
memberikan penafsiran terhadap ayat yang pertama dengan memberikan penjelasan
bahwa memakan bangkai dan darah itu adalah
haram.
Adapun kitab tafsîr
yang
bercorak bil-ma’tsur di antaranya tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm karya Ibn Katsîr (w. 774/1373), dan al-Durr
al-Mantsûr fi al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr karya al-Suyûthî (w. 911/1505).
b. Bentuk bir-Ra’yi
Bentuk bir-Ra’yi yaitu tafsir
yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah
ia mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta
problema penafsiran, seperti asbab an-nuzul dan lainnya. Contoh
dari tafsir ayat Al Qur’an dengan pendekatan bir- Ra’yi adalah pada Q.S. al Isra : 72)
Dan Barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia
ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat
dari jalan (yang benar).
Kalau memahami ayat tersebut
secara tekstual, tentunya akan terdapat kekeliruan dalam memahaminya. Sebab dalam ayat itu menjelaskan
bahwa setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka
jahanam. Padahal yang dimaksud dengan buta pada ayat tersebut adalah bukanlah
buta mata, akan tetapi buta hati. Hal ini kemudian didukung dengan penjelasan
ayat lainnya. Yakni Q.S. Al Hajj : 46.
Maka
Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta, ialah hati yang di dalam dada.
Pada ayat ini
dijelaskan dengan tegas ”bukanlah matanya yang buta, akan tetapi yang buta
ialah buta hati.
Adapun kitab tafsir yang bercorak bir
Ra’yi di antaranya tafsir Mafatih al-Ghaib, karya Fakhr
al-Razi (w. 606 H.), Anwar
at-Tanzil wa Asrar at-Takwil, karya al-Baidhawi (w. 691 H.), dan Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq
al-Takwil, karya an-Nasafi (w. 701 H.)
3.
Metode-metode Penafsiran
Mengenai
metode-metode dalam penafsiran, Abuddin Nata (2009) menyebutkan bahwa metode
penafsiran yang biasa dipakai adalah penafsiran tahlili atau tajzi’i,
penafsiran tematik ( maudhu’i), dan penafsiran ijmali.
Rosihon Anwar ( 2009, hlm. 148-156)
menyatakan bahwa metode penafsiran Alquran yang ada sekarang ini, secara umum
menggunakan setidaknya ada lima macam, yaitu : metode tahlili, metode ijmali
(global), metode muqaran (perbandingan), dan metode maudhu’I
(tematik).
Dalam beberapa referensi dan jurnal
yang sudah penulis baca, terdapat beberapa metode dalam menafsirkan Alquran.
Walau ada beberapa metode yang berbeda-beda, namun setelah dicermati ternyata
inti dari penafsiran secara garis besar terdapat banyak kesamaan. Oleh karena
itu berikut penulis mengemukakan bebebarapa metode penafsiran Alquran yang
secara umum digunakan oleh para mufassirin, yaitu:
a.
Metode Tahlili
Tafsir tahlili ialah, mengkaji ayat-ayat
Al-Qur'an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat,
sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmani. Untuk itu, pengkajian metode ini
kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju
dan kandungan ayat, menjelaskan apayagn dapat diistinbath-kan dari ayat serta
mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan
sesudahnya. Untuk itu, ia merujuk kepada sebab-sebab turun ayat, hadits-hadits Rasulullah SAW dan riwayat dari
para sahabat dan tabi’in (Raharjo, Dawan, 1996).
Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering
digunakan. Metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat Alquran
dengan meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari
uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitannya antara
pemisah (munasabat), sampai sisi-sisi keterkaitan antara pemisah itu (wajh
al-munasabat) dengan bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat yang
berasal dari Nabi SAW. Sahabat dan tabi’in (Rosihon Anwar, 2009, hlm. 148).
Berdasarkan
pendapat-pendapat di atas maka dapat dinyatakan bahwa metode penafsiran ini
berusaha untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Qur'an dari berbagai
seginya berdasarkan aturan-aturan urutan ayat atau surat dari mushaf dengan
menonjolkan kandungan lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surat-suratnya,
sebab-sebab turunnya, menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang
dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, hadisnya yang berhubungan
dengannya serta pendapat-pendapat para mufassir itu sendiri.
Keunggulan metode terutama ini terletak pada cakupan
bahasan yang sangat luas karena memiliki dua bentuk tafsir ( ma’tsur dan
ra’yi) yang mampu
melahirkan beragam corak disiplin, dan dapat menampung berbagai gagasan.
Sementara kelemahannya, antara lain, membuat petunjuk Alquran bersifat parsial
sehingga terkesan bimbingan yang disajikan Alquran tidak utuh dan inkosisten,
melahirkan penafsiran yang subjektif akibat kecenderungan mufassir pada suatu
aliran tertentu, dan memungkinkan masuknya pemikiran yang yang tidak benar.
Contoh penafsiran dengan menggunakan
metode tahlili, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 115.
Artinya; Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Para pakar ta’wil (tafsir) berbeda pendapat dalam menjelaskan latar belakang penyebutan kedua tempat tersebut secara khusus (Asbab an-Nuzul). Ada yang berkata, dalam kasus ini al-Mutsanni telah menceritakan kepadaku, katanya Abu Shahih telah bercerita kepadanya, kata Abu Shahih : Mu’awiyah bin Shahih telah bercerita kepadanya berasal dari Ali, dari Ibn Abbas katanya : “Ketika Nabi melakukan hijrah ke Madinah, mayoritas penduduknya adalah kaum Yahudi, maka Allah sengaja menyebut kedua tempat itu secara khusus karena kaum Yahudi dalam shalat menghadap ke Baitul Maqdis, dan Rasulullah pernah melakukan hal yang sama selama 10 bulan, kemudian mereka menghadap ke Ka’bah. Dikarenakan kaum Yahudi menyangkal perbuatan Nabi tidak seperti biasanya menghadap kiblat ke Baitul Maqdis kemudian turunlah ayat ini. Menurut ulama lain ayat ini turun kepada Nabi saw sebagai dispensasi dari Allah tentang kebolehan menghadap kemana saja dalam shalat sunnat ketika sedang dalam perjalanan, ketika perang, ketika ketakutan, atau menemui kesukaran dalam shalat wajib. Dengan demikian, diberitahukan kepada Nabi bahwa kemana saja mereka menghadap maka disitu ada Allah sesuai dengan firmannya tadi.Maksud ayat tersebut sesuai dengan latar belakang turunnya ayat tersebut (Asbab an-Nuzul) adalah, apabila kamu terhalang melakukan shalat di Masjidil Haram dan Masjid Baitul Maqdis, maka jangan khawatir, sebab seluruh permukaan bumi telah Kujadikan masjid tempat sembahyang di tempat mana saja di muka bumi ini,dan silahkan menghadap ke arah mana saja yang dapat kamu lakukan di tempat itu, tidak terikat pada suatu masjid tertentu dan tidak pula yang lain, demikian pula tidak terikat oleh lokasi manapun. Karena dalam firmannya (Allah Maha lapang dan luas rahmatnya), Ia ingin memberikan kelonggaran kepada hamba-hamba-Nya (lagi Maha tahu) tentang kemaslahatan dan kebutuhan mereka.
Menurut Atha, ayat ini turun ketika tidak diketahui arah kilat shalat oleh suatu kaum (kelompok) lalu mereka shalat ke arah yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinan masing-masing, setelah pagi hari mereka ternyata keliru menghadap kiblat, lantas menyampaikan masalah itu kepada rasul maka turunlah ayat ini. Bahwa dalam Penafsiran bi al-ra’yi yang dilakukan oleh al-Zamakhsyari memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran yang rasional. Kemudian penafsiran itu di dukungnya dengan firma Allah, setelah itu baru ia mengemukakan riwayat atau pendapat ulama.
Dari contoh diatas dapat disimpulkan dalam tafsir bil-Ma’tsur dilakukan selama memiliki riwayat, sedangkan bir-Ra’yi tidak sebatas riwayat tetapi lebih kepada pemikiran.Tafsir shufi.
Di antara kitab-kitab tafsir yang
menggunakan metode tahlili yaitu kitab tafsir al-Kasysyâf karya
al-Zamakhsyârî (w. 538/1143), al-Tafsîr al-kabîr (Mafâtîh al-Ghaib)
karya Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 606/1209), Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl
karya al-Baidlâwî (w. 691/1286), dan Tafsîr al-Khâzin (Lubâb
al-Ta’wil fî Ma’ânî al-Tanzîl) karya ‘Alî bin Muhammad bin Ibrâhîm
al-Baghdâdî yang termasyhur dengan sebutan al-Khâzin (w. 725 H)
b. Metode Ijmali (Global)
Metode Ijmali yaitu menafsirkan Alquran secara
global. Dengan metode ini, mufassir berupaya menjelaskan makna-makna Alquran
dengan uraian singkat dan bahasa yang mudah sehingga dapat difahami oleh semua
orang, mulai dari orang yang berpengetahuan luas sampai orang yang berpengetahuan sekadarnya (Rosihon
Anwar, 2009, 155).
Penafsiran dengan metode Ijmali, Al-Qur'an diuraian
dengan singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar. Mufassir menjelaskan
arti dan makna ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas
artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki. Hal ini
dilakukan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, ayat demi ayat dan surat-demi surat,
sesuai urutannya dalam mushaf dalam kerangka uraian yang mudah dengan bahasa
dan cara yang dapat dipahami orang yang pintar dan orang yang bodoh dan orang
pertengahan antara keduanya
Langkah awal yang dilakukan mufasir adalah membahas
ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang tertuang dalam Mushaf, lalu
mengemukakan arti global yang dimaksud oleh ayat-ayat tersebut. Makna yang
diutarakan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat (ayat diletakkan di
antara dua tanda kurung, sementara tafsirnya diletakkan di luar tanda kurung
tersebut) atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama dan mudah
dipahami semua orang. Demikian pula dengan bahasa yang digunakan, diupayakan
lapazhnya mirip bahkan sama dengan lapazh yang digunakan al-Qur’an (dalam
bentuk sinonim). Sehingga pembaca akan merasakan bahwa uraian tafsirnya tidak
jauh berbeda dari gaya bahasa al-Qur’an. Dengan demikian terkesan di satu sisi karya
tafsir ini betul-betul merepresentasi pesan al-Qur’an, dan di sisi lain ia
betul-betul berkaitan erat dengan struktur bahasa al-Qur’an. Ketika menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an melalui metode ini tidak jarang mufasir meneliti dan
menyajikan latar belakang turunnya ayat dengan cara mengkaji hadits terkait lainnya.
Keunggulan metode ini dibanding metode metode tafsir
yang lain terletak pada karakternya yang simplistik dan mudah dimengerti, tidak
mengandung elemen penafsiran yang berbelit-belit. Sementara kelemahannya antara
lain adalah menjadikan petunjuk Alquran bersifat parsial dan tidak ada ruang
untuk mengemukakan analisis yang memadai. menjadikan petunjuk Al-Qur’an
bersifat parsial (tidak utuh/padu), tak ada ruang untuk mengemukakan analisis
yang memadai. Kelemahan
metode ini tampak pada penjelasannya
yang terlalu singkat membuatnya tidak bisa menguak makna-makna yang terkandung
dalam al-Qur'an. penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat
menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara
tuntas.
Contoh penafsiran ayat Alquran dengan
menggunakan metode ijmali yaitu dapat kita lihat pada tafsir al
Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, ketika
menafsirkan surat al Baqarah ayat 1 dan 2, Al- Jalalain mengemukakan : “الم”
misalnya dia berkata : “Allah yang lebih tahu akan maksudnya”.
Kitab-kitab tafsir yang menggunakan
metode ijmali di antaranya kitab Al-Tafsir al-farid li al-Qur’an
al-Madjid, oleh Muhammad Abd. Al-Mun’im
Marah Labid Tafsir al-Nawawi/al-tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, oleh Al-Syekh
Muhammad nawawi al-jawi al-Bantani. Tafsir al Wafiz
fi Tafsir Alquran al Karim, oleh Syauq Dhaif.
c. Metode Muqaran
(Perbandingan/ Komparasi)
Metode tafsir muqaran adalah menjelaskan
ayat-ayat Alquran dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir.
Langkah-langkah yang ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah sebagai
berikut:
1.
Mengumpulkan sejumlah ayat
Alquran.
2.
Mengemukakan penjelasan
para mufassir, baik dari kalangan salaf atau kalangan khalaf, baik tafsirnya
bercorak bi al-ma’tsur atau bi ar ra’yi.
3.
Membandingkan kecenderungan
tafsir mereka masing-masing.
4.
Menjelaskan siapa di antara
mereka yang penafsirannya dipengaruhi, secara subjektif, oleh mazhab tertentu;
Siapa di antara mereka yang penafsirannya ditujukan untuk melegimitasi golongan
tertentu atau mazhab tertentul; Siapa di antara mereka yang penafsirannya
sangat diwarnai latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya, seperti bahasa,
fiqih, atau lainnya; Siapa di antara mereka yang penafsirannya didominasi oleh
uraian-uraian yang sebenarnya tidak perlu, seperti kisah-kisah yang tidak
rasional dan tidak didukung oleh argumentasi naqliah; Siapa di antara mereka
yang penafsirannya dipengaruhi oleh paham-paham asy’ariyyah, atau mu’tazilah,
atau paham-paham tasawuf, atau teori-teori filsafat, atau teori-teori ilmiah.
Selain rumusan di atas, metode muqaran mempunyai pengertian lain
yang lebih luas, yaitu membandingkan ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang
tema tertentu, atau membandingkan ayat-ayat Alquran dengan hadits-hatits yang
makna tekstualnya Nampak kontradiktif dengan Alquran, atau membandingkan
Alquran dengan kajian-kajian lainnya.
Diantara keunggulan
tafsir muqaran dari metode yang lainnya adalah wawasan relatif lebih
luas, bersikap toleran, orisinalitas dan objektifitas mufassir, dapat mengungkapkan sumber-sumber perbedaan
di kalangan mufassir atau perbedaan pendapat di antara kelompok umat Islam,
yang di dalamnya termasuk masing-masing mufassir. Sedangkan kelemahan metode
ini di antaranya penafsiran yang menggunakan metode muqaran tidak dapat
diberikan kepada pemula, hal ini disebabkan pembahasan yang dikemukakan terlalu
luas dan kadang-kadang terlalu ekstrim, konsekwensinya tentu akan menimbulkan
kebingungan bagi mereka dan bahkan mungkin bias merusak pemahaman mereka
terhadap Islam secara universal.
Contoh penafsiran dengan
menggunakan metode muqaran yaitu antara ayat al-Quran QS an-Nahl,
16: 32 dengan hadis riwayat (HR Ahmad dari Abu
Hurairah) di bawah ini:
“(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam Keadaan
baik oleh para Malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salâmun’alaikum,
masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.”
لَا
يَدْخُلُ أَحَدُكُمْ الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ
“Tidak akan masuk seorangpun diantara
kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya”. (HR Ahmad dari Abu
Hurairah).
Kitab-kitab tafsir yang menggunakan
metode muqaran di antaranya yaitu tafsir Durrat
al-Tanzîl wa Ghurrat al-Ta’wîl karya al-Iskâfî (w. 240 H), Al-Burhân fi Taujîh Mutasyâbah
al-Qur’ân karya al-Karmânî (w. 505/1111), dan tafsir Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân karya
al-Qurthubî (w. 671 H).
d. Metode Maudhu’i (Tematik)
Yang dimaksud dengan
metode maudhu’i ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan
tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek
yang terkait dengannya seperti asbab
al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan
tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an
dan Hadits, maupun pemikiran rasional.
Pemikiran dasar dari metode tematik diarahkan pada
kajian pesan al-Qur’an secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang
terpisah dari ayat atau surat al-Qur’an menjadi satu kesatuan yang utuh dan
saling berkaitan.
Yang menjadi
ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan;
sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode
“topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada si tengah
masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain.
Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh
dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di
dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak
boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran
tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh).
Ada dua macam tafsir maudhu’i. Keduanya
mempunyai tujuan sama, yaitu menyingkap hukum-hukum, keterikatan, dan
keterkaitan dalam Alquran (Rosihon Anwar, 2009, hlm. 156-157), yaitu:
1.
Mengkaji sebuah surat dengan kajian
yang universal (tidak parsial). Di dalamnya dikemukakan terlebih dahulu misi
awalnya, lalu misi utamanya; di dalamnya dikemukakan pula kaitan antara satu
bagian surat dan bagian lainnya
2.
Menghimpun seluruh ayat Alquran yang
berbicara tentang tema yang sama. Kesemuanya diletakkan di bawah satu judul,
lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i. Kalau disebut tafsir maudhu’i,
konotasi seperti inilah yang dimaksud. Bagian yang kedualah yang menjadi
fokusnya.
Jadi metode ini menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu
masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan
secara utuh dan menyeluruh.
Kelebihan metode maudhu’i
di antaranya mampu mengatasi perkembangan zaman yang selalu berubah dan
berkembang, tersusun secara praktis dan tematis dalam memecahkan suatu masalah,
dan menampilkan tema suatu permasalahan secara utuh tidak bercerai berai. Sedangkan
kelemahan metode ini di antaranya membatasi pemahaman ayat, dengan adanya
penetapan judul di dalam penafsiran, maka dengan sendirinya berarti membuat
suatu permasalahan menjadi terbatas (sesuai dengan topik itu saja), padahal
jika dilihat pada ketentuan al-Qur’an, tidak mungkin ayat-ayat yang ada padanya
mempunyai keterbatasan dengan arti kata keterbatasan ini tidak mencakup
keseluruhannya makna yang dimaksud.
Contoh penafsiran dengan
metode maudhu’i ayat-ayat khusus mengenai harta
anak yatim terdapat pada ayat-ayat di bawah ini:
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah
takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang
melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu
berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS al-An’âm,
6:152).
“Dan
berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa
yang besar”. (QS an-Nisâ, 4’: 2)
Dan surat QS an-Nisâ, 4’: 10 dan 127.
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Kitab-kitab tafsir yang menggunakan
metode maudhu’i di antaranya yaitu Al-Washâyâ
al-‘Asyr karya Syaikh Mahmud Syalthut,Tema-tema Pokok
al-Quran karya Fazlur Rahman, dan tafsir Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat
karya M. Quraish Shihab.
C. Kesimpulan
Metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas
tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk menganalisa sesuatu dengan
sistematis untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari
ayat-ayat A;-Qur’an.
Dalam sejarah penafsiran
Alquran, paling tidak ada dua bentuk penafsiran yang dipakai (diterapkan) oleh
ulama, yaitu bil-ma’tsur
(riwayat) dan bir-Ra’yi (penalaran). Corak bil-ma’tsur adalah menafsirkan
Alquran dengan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. pendapat
para sahabat berdasarkan ijtihad mereka, dan pendapat tabi’in. Corak ini adalah
yang paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual
Islam. Oleh karena corak bir-ra’y bersifat penalaran
atau pemikiran, maka corak inilah yang secara umum dipakai oleh para mufassir.
Metodologi penafsiran Alquran yang
ada sekarang ini, secara umum menggunakan setidaknya ada lima macam, yaitu :
metode tahlili, metode ijmali (global), metode muqaran
(perbandingan), dan metode maudhu’i (tematik).
Tafsir tahlili ialah,
mengkaji ayat-ayat Al-Qur'an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan
surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmani. Metode Ijmali
yaitu menafsirkan Alquran secara global. Metode tafsir muqaran
adalah menjelaskan ayat-ayat Alquran dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan
para mufassir. Metode maudhu’i
ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan.
Daftar
Pustaka
Abuddin Nata, 2009, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta, PT Raja
Grafindo
Persada.
Abuddin Nata, 2009, Metodologi
Studi Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
Atho Muzhar, 2011, Pendekatan Studi Islam,Yogyakarta, Pustaka
Pelajar
As-Suyuti, al-Itqan
fi Ulum Alquran
John Hayes, 1993, Pedoman Penafsiran Al-Kitab, Jakarta,
BPK Gunung Mulia
Mastuhu.dkk,
2000, Management Penelitian Agama, Jakarta, Badan Litbang
Agama
Muhammad Amin Suma, 1997, Tafsir
Ahkam, Jakarta, PT LOGOS
Pius A Partanto dan M. Dahlan
Al-Barry, -- Kamus Ilmiah Populer, Surabaya,
Arkola
Peter Salim,2002, The Contemporary
Englis-Indonesian Dictionary, Modern
English Press
Raharjo, Dawan,1996, Ensiklopedi
Alquran Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci,
Jakarta, Paramadina
Rosihon
Anwar,2009, Pengantar Ulumul Quran, Bandung, CV Pustaka Setia
Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa Depdikbud,
1988, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka
http://fud.iainbanten.ac.id