Minggu, 03 Februari 2013

Teori Eksegesi



METODOLOGI PENAFSIRAN
Oleh: Maghpir, S.Pd.I

A. Pendahuluan    
            Dalam studi Islam Masduhu dkk (2000, hlm.12) menyebutkan setidak-tidaknya terdapat tiga lingkup penelitian keagamaan. Pertama penelitian normatif tentang Islam, yang umunya dikerjakan kaum muslimin sendiri untuk menemukan kebenaran religious, meliputi studi-studi: tafsir, hadits, fikih, dan kalam. Kedua, penlitian nonnormatif tentang Islam, biasanya dilakukan di universitas-universitas dan meliputi baik apa yang dianggap kaum muslim sebagai Islam yang benar, maupun yang hidup (living Islam), yakni ekspresi-ekspresi relilgius kaum muslim yang faktual. Ketiga, penelitian nonnormatif mengenai aspek-as pek kebudayaan dan masyarakat muslim.
            Alquran sebagai sumber umat Islam untuk beragama, perlu di pahami dengan mempelajari situasi historis dan masalah dalam menanggapi mana ayat-ayat yang diturunkan, termasuk pertanyaan yang bersifat sosial, keagamaan, dan kelembagaan, dan isu-isu tentang kapan dan di mana ayat-ayat Alquran tersebut diturunkan.
            Seperti kita ketahui bahwa Rasulullah SAW adalah merupakan orang pertama yang berhak untuk menafsirkan Al-Qur'an ( mufasir awal ), karena pada masa Nabi segala persoalan yang berkaitan dengan persoalan umat bisa langsung ditanyakan kepada Nabi SAW.
            Paling sedikit ada tiga jenis metodologi konvensional yang telah berkemban. Pertama, metodologi penelitian tafsir yang menekankan pada ilmu asbab al-nuzul, linguistika Alquran, dan lain-lain. Kedua, metode penelitian hadits. Ketiga, ilmu ushul fiqh atau ilmu dasar-dasar fiqh (Atho Muzhar, 2011, hlm.1).
            Studi terhadap al-Qur'an dan metodologi tafsir sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang cukup panjang, seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial dan budaya serta peradaban manusia yang terus mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari keinginan umat Islam untuk senantiasa mendialogkan teks al-Qur'an yang terbatas dengan realitas yang tak terbatas. Oleh sebab itu, munculnya metodologi tafsir merupakan keniscayaan yang tidak terelakan. Apalagi dalam peta ilmu-ilmu keislaman, persoalan metodologi tafsir adalah ilmu yang belum matang yang senantiasa terbuka untuk diperbaharui dan dikembangkan.
Untuk itu mempelajari Al-Qur'an laksana meminum air laut, semakin banyak diminum semakin terasa haus. Begitu pula mempelajari Al-Qur'an, semakin didalami semakin terasa miskinnya ilmu seorang hamba dan semakin jelas kelihatan disetiap sisinya memancarkan nur ( cahaya ), karena itu pembahasan mengenai Al-Qur'an dan segala aspeknya tidak akan pernah berakhir. Dalam makalah saya disini sedikit akan mengupas bagaimana caranya mendalami Al-Qur'an, yaitu metodologi penafsiran Al-Qur'an semoga makalah saya ini bermanfaat.

B. Pembahasan
     1. Pengertian Metodologi Penafsiran
            Kata metodologi terdiri dari dua kata yaitu method dan logi. Metodologi yang pada awalnya berasal dari bahasa latin methodus dan logia, kemudian kedua kata ini diserap oleh bahasa Yunani menjadi methodos yang berarti cara atau jalan, cara yang teratur dan sistematis untuk pelaksanaan sesuatu, sedangkan logos berarti kata, pembicaraan atau ilmu. Jadi metodologi adalah ilmu cara-cara dan langkah-langkah yang tepat (untuk menganalisa sesuatu); penjelasan serta menerapkan cara (Pius A Partanto dan M Dahlan Al-Barry, hlm. 46).
            Dalam kamus bahasa Indonesia, metodologi berarti cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) atau cara kerja yang tersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1988,hlm.580).
            Jadi metodologi dapat kita artikan suatu alur yang di dalamnya terdapat langkah-langkah yang sistematis dalam rangka untuk memudahkan dalam kegiatan pencapaian tujuan yang akan di capai.
          Ekesegesis dalam kamus artinya penjelasan (Peter Salim, 2002, hlm. 641). Sedangkan menurut John Hayes bahwa menafsir dalam bahasa inggris diistilahkan dengan kata "exegesis" yang memiliki arti membawa keluar atau mengeluarkan. Apabila dikenakan pada tulisan-tulisan, maka kata tersebut berarti "membaca atau menggali" arti tulisan tersebut. Jadi pada waktu kita membaca sebuah tulisan atau mendengar suatu pernyataan yang kita coba fahami dan tafsirkan, maka kita sebenarnya sedang melakukan penafsiran (sumber: http://fud.iainbanten.ac.id).
          Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks, selalu berubah dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya Al-Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan ( ditafsirkan) dengan berbagair alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Al-Qur’an itu. (Muhammad Amin Suma, 1997, hlm. 3).
            Al-Maturidi mendefinisikan tafsir dengan penjelasan yang pasti dari maksud satu lafazh dengan persaksian bahwa Allah bermaksud demikian dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti melalui para periwayatnya yang adil (As-Suyuthi, hlm.167).
            Imam az-Zarkasyi, berpendapat bahwa tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya ( Az- Zarkasyi, hlm.146)
            Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka dapat di simpulkan bahwa Yang dimaksud dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk menganalisa sesuatu dengan sistematis untuk  mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat A;-Qur’an.

     2. Bentuk/ Corak Penafsiran
          Menurut hasil penelitian, bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Alquran. Metode penafsiran Alquran tersebut secara garis besar dapat dibagi dua bagian yaitu corak bi ma’tsur (riwayat) dan corak penalaran (Abuddin Nata, 2009, hlm. 217).
          Demikian juga Rosihon Anwar (2009) yang menyebutkan bahwa bentuk atau corak penafsiran ada dua macam yaitu bentuk bil Ma’tsur dan bir-Ra’yi .
          Jadi berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dalam sejarah penafsiran Alquran, paling tidak ada dua bentuk/ corak penafsiran yang dipakai (diterapkan) oleh ulama, yaitu bil-ma’tsur (riwayat) dan bir-Ra’yi (penalaran):
         a. Bentuk bil-Ma’tsur
                Bentuk bil-Ma’tsur adalah penafsiran Alquran berdasarkan penjelasan Alquran itu sendiri, penjelasan Rasul, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in. Contoh dengan Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an yang lain

         "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu......(Al-Maidah :4).

        Ayat al-Qur’an di atas ditafsirkan dengan ayat al-Qur’an yang lain yaitu :


  
 Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. .... ( Al- An’am :145)

         Pada ayat yang kedua tersebut memberikan penafsiran terhadap ayat yang pertama dengan memberikan penjelasan bahwa memakan bangkai dan darah itu adalah haram.
                Adapun kitab tafsîr yang bercorak bil-ma’tsur di antaranya tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm karya Ibn Katsîr (w. 774/1373), dan al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr karya al-Suyûthî (w. 911/1505).
b. Bentuk bir-Ra’yi
                Bentuk bir-Ra’yi yaitu tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah ia mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab an-nuzul dan lainnya. Contoh dari tafsir ayat Al Qur’an dengan pendekatan bir- Ra’yi adalah pada Q.S. al Isra : 72)
 
Dan Barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).

         Kalau memahami ayat tersebut secara tekstual, tentunya akan terdapat kekeliruan dalam memahaminya. Sebab dalam ayat itu menjelaskan bahwa setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam. Padahal yang dimaksud dengan buta pada ayat tersebut adalah bukanlah buta mata, akan tetapi buta hati. Hal ini kemudian didukung dengan penjelasan ayat lainnya. Yakni Q.S. Al Hajj : 46.

Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.

Pada ayat ini dijelaskan dengan tegas ”bukanlah matanya yang buta, akan tetapi yang buta ialah buta hati.
       Adapun kitab tafsir yang bercorak bir Ra’yi di antaranya tafsir Mafatih al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H.), Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Takwil, karya al-Baidhawi (w. 691 H.), dan Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Takwil, karya an-Nasafi (w. 701 H.)

   3. Metode-metode Penafsiran         
           Mengenai metode-metode dalam penafsiran, Abuddin Nata (2009) menyebutkan bahwa metode penafsiran yang biasa dipakai adalah penafsiran tahlili atau tajzi’i, penafsiran tematik ( maudhu’i), dan penafsiran ijmali.
            Rosihon Anwar ( 2009, hlm. 148-156) menyatakan bahwa metode penafsiran Alquran yang ada sekarang ini, secara umum menggunakan setidaknya ada lima macam, yaitu : metode tahlili, metode ijmali (global), metode muqaran (perbandingan), dan metode maudhu’I (tematik).
            Dalam beberapa referensi dan jurnal yang sudah penulis baca, terdapat beberapa metode dalam menafsirkan Alquran. Walau ada beberapa metode yang berbeda-beda, namun setelah dicermati ternyata inti dari penafsiran secara garis besar terdapat banyak kesamaan. Oleh karena itu berikut penulis mengemukakan bebebarapa metode penafsiran Alquran yang secara umum digunakan oleh para mufassirin, yaitu:
        a. Metode Tahlili
Tafsir tahlili ialah, mengkaji ayat-ayat Al-Qur'an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmani. Untuk itu, pengkajian metode ini kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apayagn dapat diistinbath-kan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya. Untuk itu, ia merujuk kepada sebab-sebab turun ayat, hadits-hadits Rasulullah SAW dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in (Raharjo, Dawan, 1996).
Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat Alquran dengan meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitannya antara pemisah (munasabat), sampai sisi-sisi keterkaitan antara pemisah itu (wajh al-munasabat) dengan bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi SAW. Sahabat dan tabi’in (Rosihon Anwar, 2009, hlm. 148).
   Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat dinyatakan bahwa metode penafsiran ini berusaha untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Qur'an dari berbagai seginya berdasarkan aturan-aturan urutan ayat atau surat dari mushaf dengan menonjolkan kandungan lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surat-suratnya, sebab-sebab turunnya, menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, hadisnya yang berhubungan dengannya serta pendapat-pendapat para mufassir itu sendiri.
Keunggulan metode terutama ini terletak pada cakupan bahasan yang sangat luas karena memiliki dua bentuk tafsir ( ma’tsur dan ra’yi) yang mampu melahirkan beragam corak disiplin, dan dapat menampung berbagai gagasan. Sementara kelemahannya, antara lain, membuat petunjuk Alquran bersifat parsial sehingga terkesan bimbingan yang disajikan Alquran tidak utuh dan inkosisten, melahirkan penafsiran yang subjektif akibat kecenderungan mufassir pada suatu aliran tertentu, dan memungkinkan masuknya pemikiran yang yang tidak benar.
       Contoh penafsiran dengan menggunakan metode tahlili, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 115.
 
Artinya; Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

       Para pakar ta’wil (tafsir) berbeda pendapat dalam menjelaskan latar belakang penyebutan kedua tempat tersebut secara khusus (Asbab an-Nuzul). Ada yang berkata, dalam kasus ini al-Mutsanni telah menceritakan kepadaku, katanya Abu Shahih telah bercerita kepadanya, kata Abu Shahih : Mu’awiyah bin Shahih telah bercerita kepadanya berasal dari Ali, dari Ibn Abbas katanya : “Ketika Nabi melakukan hijrah ke Madinah, mayoritas penduduknya adalah kaum Yahudi, maka Allah sengaja menyebut kedua tempat itu secara khusus karena kaum Yahudi dalam shalat menghadap ke Baitul Maqdis, dan Rasulullah pernah melakukan hal yang sama selama 10 bulan, kemudian mereka menghadap ke Ka’bah. Dikarenakan kaum Yahudi menyangkal perbuatan Nabi tidak seperti biasanya menghadap kiblat ke Baitul Maqdis kemudian turunlah ayat ini. Menurut ulama lain ayat ini turun kepada Nabi saw sebagai dispensasi dari Allah tentang kebolehan menghadap kemana saja dalam shalat sunnat ketika sedang dalam perjalanan, ketika perang, ketika ketakutan, atau menemui kesukaran dalam shalat wajib. Dengan demikian, diberitahukan kepada Nabi bahwa kemana saja mereka menghadap maka disitu ada Allah sesuai dengan firmannya tadi.Maksud ayat tersebut sesuai dengan latar belakang turunnya ayat tersebut (Asbab an-Nuzul) adalah, apabila kamu terhalang melakukan shalat di Masjidil Haram dan Masjid Baitul Maqdis, maka jangan khawatir, sebab seluruh permukaan bumi telah Kujadikan masjid tempat sembahyang di tempat mana saja di muka bumi ini,dan silahkan menghadap ke arah mana saja yang dapat kamu lakukan di tempat itu, tidak terikat pada suatu masjid tertentu dan tidak pula yang lain, demikian pula tidak terikat oleh lokasi manapun. Karena dalam firmannya (Allah Maha lapang dan luas rahmatnya), Ia ingin memberikan kelonggaran kepada hamba-hamba-Nya (lagi Maha tahu) tentang kemaslahatan dan kebutuhan mereka.
Menurut Atha, ayat ini turun ketika tidak diketahui arah kilat shalat oleh suatu kaum (kelompok) lalu mereka shalat ke arah yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinan masing-masing, setelah pagi hari mereka ternyata keliru menghadap kiblat, lantas menyampaikan masalah itu kepada rasul maka turunlah ayat ini. Bahwa dalam Penafsiran bi al-ra’yi yang dilakukan oleh al-Zamakhsyari memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran yang rasional. Kemudian penafsiran itu di dukungnya dengan firma Allah, setelah itu baru ia mengemukakan riwayat atau pendapat ulama.
Dari contoh diatas dapat disimpulkan dalam tafsir bil-Ma’tsur dilakukan selama memiliki riwayat, sedangkan bir-Ra’yi tidak sebatas riwayat tetapi lebih kepada pemikiran.Tafsir shufi.
                Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode tahlili yaitu kitab tafsir al-Kasysyâf karya al-Zamakhsyârî (w. 538/1143), al-Tafsîr al-kabîr (Mafâtîh al-Ghaib) karya Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 606/1209), Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl karya al-Baidlâwî (w. 691/1286), dan Tafsîr al-Khâzin (Lubâb al-Ta’wil fî Ma’ânî al-Tanzîl) karya ‘Alî bin Muhammad bin Ibrâhîm al-Baghdâdî yang termasyhur dengan sebutan al-Khâzin (w. 725 H)
  b. Metode Ijmali (Global)
Metode Ijmali yaitu menafsirkan Alquran secara global. Dengan metode ini, mufassir berupaya menjelaskan makna-makna Alquran dengan uraian singkat dan bahasa yang mudah sehingga dapat difahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan luas sampai  orang yang berpengetahuan sekadarnya (Rosihon Anwar, 2009, 155).
Penafsiran dengan metode Ijmali, Al-Qur'an diuraian dengan singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar. Mufassir menjelaskan arti dan makna ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, ayat demi ayat dan surat-demi surat, sesuai urutannya dalam mushaf dalam kerangka uraian yang mudah dengan bahasa dan cara yang dapat dipahami orang yang pintar dan orang yang bodoh dan orang pertengahan antara keduanya
Langkah awal yang dilakukan mufasir adalah membahas ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang tertuang dalam Mushaf, lalu mengemukakan arti global yang dimaksud oleh ayat-ayat tersebut. Makna yang diutarakan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat (ayat diletakkan di antara dua tanda kurung, sementara tafsirnya diletakkan di luar tanda kurung tersebut) atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama dan mudah dipahami semua orang. Demikian pula dengan bahasa yang digunakan, diupayakan lapazhnya mirip bahkan sama dengan lapazh yang digunakan al-Qur’an (dalam bentuk sinonim). Sehingga pembaca akan merasakan bahwa uraian tafsirnya tidak jauh berbeda dari gaya bahasa al-Qur’an. Dengan demikian terkesan di satu sisi karya tafsir ini betul-betul merepresentasi pesan al-Qur’an, dan di sisi lain ia betul-betul berkaitan erat dengan struktur bahasa al-Qur’an. Ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an melalui metode ini tidak jarang mufasir meneliti dan menyajikan latar belakang turunnya ayat dengan cara mengkaji hadits terkait lainnya.
Keunggulan metode ini dibanding metode metode tafsir yang lain terletak pada karakternya yang simplistik dan mudah dimengerti, tidak mengandung elemen penafsiran yang berbelit-belit. Sementara kelemahannya antara lain adalah menjadikan petunjuk Alquran bersifat parsial dan tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai. menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial (tidak utuh/padu), tak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai. Kelemahan metode ini tampak pada penjelasannya yang terlalu singkat membuatnya tidak bisa menguak makna-makna yang terkandung dalam al-Qur'an. penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
       Contoh penafsiran ayat Alquran dengan menggunakan metode ijmali yaitu dapat kita lihat pada tafsir al Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 1 dan 2, Al- Jalalain mengemukakan :  الم misalnya dia berkata : “Allah yang lebih tahu akan maksudnya”.
       Kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ijmali di antaranya kitab Al-Tafsir al-farid li al-Qur’an al-Madjid, oleh Muhammad Abd. Al-Mun’im
Marah Labid Tafsir al-Nawawi/al-tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, oleh Al-Syekh Muhammad nawawi al-jawi al-Bantani. Tafsir al Wafiz fi Tafsir Alquran al Karim, oleh Syauq Dhaif.
  c. Metode Muqaran (Perbandingan/ Komparasi)
Metode tafsir muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Alquran dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir. Langkah-langkah yang ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengumpulkan sejumlah ayat Alquran.
2.      Mengemukakan penjelasan para mufassir, baik dari kalangan salaf atau kalangan khalaf, baik tafsirnya bercorak bi al-ma’tsur atau bi ar ra’yi.
3.      Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing.
4.      Menjelaskan siapa di antara mereka yang penafsirannya dipengaruhi, secara subjektif, oleh mazhab tertentu; Siapa di antara mereka yang penafsirannya ditujukan untuk melegimitasi golongan tertentu atau mazhab tertentul; Siapa di antara mereka yang penafsirannya sangat diwarnai latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya, seperti bahasa, fiqih, atau lainnya; Siapa di antara mereka yang penafsirannya didominasi oleh uraian-uraian yang sebenarnya tidak perlu, seperti kisah-kisah yang tidak rasional dan tidak didukung oleh argumentasi naqliah; Siapa di antara mereka yang penafsirannya dipengaruhi oleh paham-paham asy’ariyyah, atau mu’tazilah, atau paham-paham tasawuf, atau teori-teori filsafat, atau teori-teori ilmiah.
Selain rumusan di atas, metode muqaran mempunyai pengertian lain yang lebih luas, yaitu membandingkan ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang tema tertentu, atau membandingkan ayat-ayat Alquran dengan hadits-hatits yang makna tekstualnya Nampak kontradiktif dengan Alquran, atau membandingkan Alquran dengan kajian-kajian lainnya.
          Diantara keunggulan tafsir muqaran dari metode yang lainnya adalah wawasan relatif lebih luas, bersikap toleran, orisinalitas dan objektifitas mufassir,  dapat mengungkapkan sumber-sumber perbedaan di kalangan mufassir atau perbedaan pendapat di antara kelompok umat Islam, yang di dalamnya termasuk masing-masing mufassir. Sedangkan kelemahan metode ini di antaranya penafsiran yang menggunakan metode muqaran tidak dapat diberikan kepada pemula, hal ini disebabkan pembahasan yang dikemukakan terlalu luas dan kadang-kadang terlalu ekstrim, konsekwensinya tentu akan menimbulkan kebingungan bagi mereka dan bahkan mungkin bias merusak pemahaman mereka terhadap Islam secara universal.
                Contoh penafsiran dengan menggunakan metode muqaran yaitu antara ayat al-Quran QS an-Nahl, 16: 32 dengan hadis riwayat (HR Ahmad dari Abu Hurairah) di bawah ini:
 
“(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam Keadaan baik oleh para Malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salâmun’alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.”

لَا يَدْخُلُ أَحَدُكُمْ الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ
“Tidak akan masuk seorangpun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya”. (HR Ahmad dari Abu Hurairah).

       Kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode muqaran di antaranya yaitu tafsir Durrat al-Tanzîl wa Ghurrat al-Ta’wîl karya al-Iskâfî (w. 240 H), Al-Burhân fi Taujîh Mutasyâbah al-Qur’ân karya al-Karmânî (w. 505/1111), dan tafsir Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân karya al-Qurthubî (w. 671 H).
  d. Metode Maudhu’i (Tematik)
Yang dimaksud dengan metode maudhu’i ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.
Pemikiran dasar dari metode tematik diarahkan pada kajian pesan al-Qur’an secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat atau surat al-Qur’an menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan.
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan; sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada si tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh).
Ada dua macam tafsir maudhu’i. Keduanya mempunyai tujuan sama, yaitu menyingkap hukum-hukum, keterikatan, dan keterkaitan dalam Alquran (Rosihon Anwar, 2009, hlm. 156-157), yaitu:
1.      Mengkaji sebuah surat dengan kajian yang universal (tidak parsial). Di dalamnya dikemukakan terlebih dahulu misi awalnya, lalu misi utamanya; di dalamnya dikemukakan pula kaitan antara satu bagian surat dan bagian lainnya
2.      Menghimpun seluruh ayat Alquran yang berbicara tentang tema yang sama. Kesemuanya diletakkan di bawah satu judul, lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i. Kalau disebut tafsir maudhu’i, konotasi seperti inilah yang dimaksud. Bagian yang kedualah yang menjadi fokusnya.
       Jadi metode ini menghimpun  semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh.
          Kelebihan metode maudhu’i di antaranya mampu mengatasi perkembangan zaman yang selalu berubah dan berkembang, tersusun secara praktis dan tematis dalam memecahkan suatu masalah, dan menampilkan tema suatu permasalahan secara utuh tidak bercerai berai. Sedangkan kelemahan metode ini di antaranya membatasi pemahaman ayat, dengan adanya penetapan judul di dalam penafsiran, maka dengan sendirinya berarti membuat suatu permasalahan menjadi terbatas (sesuai dengan topik itu saja), padahal jika dilihat pada ketentuan al-Qur’an, tidak mungkin ayat-ayat yang ada padanya mempunyai keterbatasan dengan arti kata keterbatasan ini tidak mencakup keseluruhannya makna yang dimaksud.
       Contoh penafsiran dengan metode maudhu’i ayat-ayat khusus mengenai harta anak yatim terdapat pada ayat-ayat di bawah ini:
Ÿ
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS al-An’âm, 6:152).

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar”. (QS an-Nisâ, 4’: 2)
Dan surat QS an-Nisâ, 4’: 10 dan 127.
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”

       Kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode maudhu’i di antaranya yaitu Al-Washâyâ al-‘Asyr karya Syaikh Mahmud Syalthut,Tema-tema  Pokok al-Quran karya Fazlur Rahman, dan tafsir Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat karya M. Quraish Shihab.

C. Kesimpulan
            Metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk menganalisa sesuatu dengan sistematis untuk  mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat A;-Qur’an.
            Dalam sejarah penafsiran Alquran, paling tidak ada dua bentuk penafsiran yang dipakai (diterapkan) oleh ulama, yaitu bil-ma’tsur (riwayat) dan bir-Ra’yi (penalaran). Corak bil-ma’tsur adalah menafsirkan Alquran dengan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. pendapat para sahabat berdasarkan ijtihad mereka, dan pendapat tabi’in. Corak ini adalah yang paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual Islam.            Oleh karena corak bir-ra’y bersifat penalaran atau pemikiran, maka corak inilah yang secara umum dipakai oleh para mufassir.
            Metodologi penafsiran Alquran yang ada sekarang ini, secara umum menggunakan setidaknya ada lima macam, yaitu : metode tahlili, metode ijmali (global), metode muqaran (perbandingan), dan metode maudhu’i (tematik).
            Tafsir tahlili ialah, mengkaji ayat-ayat Al-Qur'an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmani. Metode Ijmali yaitu menafsirkan Alquran secara global. Metode tafsir muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Alquran dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir. Metode maudhu’i ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.









Daftar Pustaka


Abuddin Nata, 2009, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta, PT Raja Grafindo
                        Persada.
Abuddin Nata, 2009, Metodologi Studi Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
Atho Muzhar, 2011, Pendekatan Studi Islam,Yogyakarta, Pustaka Pelajar
As-Suyuti, al-Itqan fi Ulum Alquran
John Hayes, 1993,  Pedoman Penafsiran Al-Kitab, Jakarta, BPK  Gunung  Mulia
Mastuhu.dkk, 2000, Management Penelitian Agama, Jakarta, Badan Litbang
             Agama
Muhammad Amin Suma, 1997, Tafsir Ahkam, Jakarta, PT LOGOS
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, -- Kamus Ilmiah Populer, Surabaya,
                                                                  Arkola
Peter Salim,2002, The Contemporary Englis-Indonesian Dictionary, Modern
                   English Press
Raharjo, Dawan,1996, Ensiklopedi Alquran Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
                           Konsep Kunci, Jakarta, Paramadina
Rosihon Anwar,2009, Pengantar Ulumul Quran, Bandung, CV Pustaka Setia
Tim  Penyusun  Kamus  Pusat Bahasa Depdikbud, 1988, Kamus  Besar   Bahasa
                                                                             Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka
http://fud.iainbanten.ac.id